PENDEKATAN PEMBELAJARAN
MACAM
– MACAM PENDEKATAN PEMBELAJARAN
§
Pendekatan Kontekstual
§
Pendekatan Konstruktivisme
§
Pendekatan Deduktif – Induktif
§
Pendekatan Konsep dan Proses
§
Pendekatan Sains, Tekhnologi dan Masyarakat
§
Implikasi Pendekatan Andragogis
- Pendekatan
Kontekstual
Pendekatan konstekstual
berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan
mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan
memahami. Pembelajaran tidak hanya berorientasi target penguasaan materi, yang
akan gagal dalam membekali siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya.
Dengan demikian proses pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar,
sehingga guru dituntut untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif
dengan prinsip membelajarkan – memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa.
Borko
dan Putnam mengemukakan bahwa dalam pembelajaran
kontekstual, guru
memilih konteks pembelajaran yang tepat bagi siswa dengan cara
mengaitkan pembelajaran
dengan kehidupan nyata dan lingkungan di mana anak hidup dan berada serta
dengan budaya yang berlaku dalam masyarakatnya (http.//www.contextual.org.id).
Pemahaman, penyajian ilmu pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang ada
dalam materi dikaitkan dengan apa yang dipelajari dalam kelas dan dengan
kehidupan sehari-hari (Dirjen
Dikdasmen, 2001: 8). Dengan
memilih konteks secara tepat, maka siswa dapat diarahkan kepada pemikiranagar
tidak hanya berkonsentrasi dalam pembelajaran di lingkungan kelas saja, tetapi
diajak untuk mengaitkan aspek-aspek yang benar-benar terjadi dalam kehidupan
mereka sehari-hari, masa depan mereka, dan lingkungan masyarakat luas.
Dalam
kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Guru lebih banyak
berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.Guru bertugas mengelola
kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
bersama untuk merumuskan, menemukan sesuatu yang baru bagi kelas yang dapat
berupa pengetahuan, keterampilan dari hasil “menemukan sendiri” dan bukan dari
“apa kata guru.
Penggunaan
pembelajaran kontekstual memiliki potensi tidak hanya untuk mengembangkan
ranah pengetahuan dan keterampilan proses, tetapi juga untuk mengembangkan
sikap, nilai, serta kreativitas siswa dalam memecahkan masalah yang terkait
dengan kehidupan mereka sehari-hari melalui interaksi dengan sesame teman, misalnya
melalui pembelajaran kooperatif, sehingga juga mengembangkan keterampilan
sosial (social skills) (Dirjen Dikmenum, 2002:6). Lebih lanjut Schaible,
Klopher,
dan Raghven, dalam Joyce-Well (2000:172) menyatakan bahwa pendekatan
kontekstual melibatkan siswa dalam masalah yang sebenarnya dalam penelitian
dengan menghadapkan anak didik pada bidang penelitian, membantu mereka
mengidentifikasi masalah yang konseptual atau metodologis dalam bidang
penelitian dan mengajak mereka untuk merancang cara dalam mengatasi masalah.
Pendekatan
kontekstual sering kita kenal dengan CTL (Contextual Teaching and
Learning). Pendekatan
Kontekstual atau Contextual
Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat
(Doantara, 2008).
Dalam konteks ini siswa
perlu mengerti apa makna belajar, manfaatnya, dalam status apa mereka dan
bagaimana mencapainya. Dengan ini siswa akan menyadari bahwa apa yang mereka
pelajari berguna bagi hidupnya nanti. Sehingga, akan membuat mereka
memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal yang bermanfaat
untuk hidupnya nanti dan siswa akan berusaha untuk meggapainya.
Pendekatan konstekstual
berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih bermakna dengan melalui kegiatan
mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah, tidak hanya sekedar mengetahui,
mengingat, dan memahami. (Suryati, 2008)
Ciri-ciri suatu pembelajaran yang kontekstual adalah
sebagai berikut
a.
Siswa
secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran
b.
Siswa
belajar dari temen melalui kerja kelompok, diskusi, saling mengoreksi
c.
Pembelajaran
dikaitkan dengan kehidupan nyata dan atau masalah yang disimulasikan
d.
Perilaku dibangun atas kesadaran diri
e.
Keterampilan dikembangkan atas dasar
pemahaman
f.
Hadiah
untuk perilaku baik adalah kepuasan diri
g.
Seseorang
tidak melakukan yang jelek karena dia sadar itu keliru dan merugikan
h.
Bahasa
yang diajarkan dengan pendekatan komunikatif, yakni siswa diajak menggunakan
bahasa dalam konteks nyata
i.
Pemahaman
rumus dikembangkan atas dasar skemata yang sudah ada dalam diri siswa
j.
Pemahaman rumus itu relatif berbeda
antara siswa yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan skemata siswa (on
going prosecess of development)
k.
Siswa
menggunakan kemampuan berfikir kritis, terlibat penuh dalam mengupayakan
terjadinya proses pembelajaran yang efektif, ikut bertanggung jawab atas
terjadinya proses pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing
ke dalam proses pembelajaran
l.
Pengetahuan
yang dimiliki manusia dikembangkan oleh manusia itu sendiri.
m.
Karena
ilmu pengetahuan itu dikembangkan (dikonstruksi) oleh manusia sendiri,
sementara manusia selalu mengalami peristiwa baru, maka pengetahuan itu tidak
pernah stabil, selalu berkembang (tentative and incomplete)
n.
Siswa diminta bertanggung jawab
memonitor dan mengembangkan pembelajaran mereka masing-masing
o.
Penghargaan terhadap pengalaman siswa
sangat diutamakan
p.
Hasil belajar diukur dengan berbagai cara; proses kerja, hasil karya, penampilan, rekaman,
tes dll
q.
Pembelajaran terjadi di berbagai tempat,
konteks, dan setting
r.
Penyesalan adalah hukuman dari perilaku
jelek
s.
Perilaku baik berdasar motivasi
intrinsic
t.
Seseorang
berperilaku baik karena dia yakin itulah yang terbaik dan bermanfaat. seseorang
berperilaku baik karena dia terbiasa melakukan begitu
2. Pendekatan Konstruktivisme
Kontruktivisme
merupakan landasan berfikir pendekatan kontekstual. Yaitu bahwa pendekatan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba (Suwarna,2005).
Piaget
(1970), Brunner dan Brand 1966), Dewey (1938) dan Ausubel (1963). Menurut Caprio
(1994), McBrien Brandt (1997), dan Nik Aziz (1999) kelebihan teori konstruktivisme ialah pelajar
berpeluang membina pengetahuan secara aktif melalui proses saling pengaruh antara
pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. Pembelajaran terdahulu
dikaitkan dengan pembelajaran terbaru. Perkaitan ini dibina sendiri oleh
pelajar.
Menurut teori konstruktivisme, konsep-konsep yang
dibina pada struktur kognitif seorang akan berkembang dan berubah apabila ia
mendapat pengetahuan atau pengalaman baru. Rumelhart dan Norman
(1978) menjelaskan seseorang akan dapat membina konsep dalam struktur
kognitifnya dengan menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang sedia
ada padanya dan proses ini dikenali sebagai accretion. Selain itu,
konsep-konsep yang ada pada seseorang boleh berubah selaras dengan pengalaman
baru yang dialaminya dan ini dikenali sebagai penalaan atau tuning. Seseorang
juga boleh membina konsep-konsep dalam struktur kognitifnya dengan menggunakan
analogi, iaitu berdasarkan pengetahuan yang ada padanya. Menurut Gagne,
Yekovich, dan Yekovich (1993) konsep baru juga boleh dibina dengan menggabungkan
konsep-konsep yang ada pada seseorang dan ini dikenali sebagai parcing.
Pendekatan konstruktivisme sangat penting dalam
proses pembelajaran kerana pelajar digalakkan membina konsep sendiri dengan
menghubungkaitkan hal -hal yang dipelajari dengan pengetahuan yang sedia ada
pada mereka. Dalam proses ini, pelajar dapat meningkatkan pemahaman mereka tentang
sesuatu hal.
Pendekatan
konstruktivisme berasumsi bahwa siswa belajar sedikit demi sedikit dari konteks
yang terbatas kemudian siswa mengkonstruksi sendiri pemahamannya dan pemahaman
tersebut diperoleh dari pengalaman belajar yang bermakna. (Rmakoe,2009)
Pendekatan
konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang
menyatakan bahwa proses belajar diawali
dengan terjadinya konflik kognitif (Sitanto,2009)
Pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran
merupakan pendekatan pembelajaran dimana pengetahuan baru tidak diberikan dalam
bentuk jadi (final), tetapi siswa membentuk sendiri pengetahuannya melalui
interaksi dengan lingkungannya dalam proses asimilasi dan akomodasi.
(Kusuma,2003). Kajian Sharan dan Sachar (1992, disebut dalam Sushkin, 1999)
membuktikan kumpulan pelajar yang diajar menggunakan pendekatan konstruktivisme
telah mendapat pencapaian yang lebih tinggi dan signifikan berbanding kumpulan
pelajar yang diajar menggunakan pendekatan tradisional. Kajian
Caprio (1994), Nor Aini (2002), Van Drie dan Van Boxtel (2003), Curtis (1998),
dan Lieu (1997) turut membuktikan bahawa pendekatan konstruktivisme dapat
membantu pelajar untuk mendapatkan pemahaman dan pencapaian yang lebih tinggi
dan signifikan.
3. Pendekatan Deduktif – Induktif
a. Pendekatan Deduktif
Pendekatan
deduktif ditandai dengan pemaparan konsep, definisi dan istilah-istilah pada
bagian awal pembelajaran. Pendekatan deduktif dilandasi oleh
suatu pemikiran bahwa proses pembelajaran akan berlangsung dengan baik bila
siswa telah mengetahui wilayah persoalannya dan konsep dasarnya (Suwarna, 2005).
Pendekatan deduktif
merupakan pendekatan yang mengutamakan penalaran dari umum ke khusus.
Prince dan
Felder (2006) menyatakan pembelajaran tradisional adalah pembelajaran dengan
pendekatan deduktif, memulai dengan teori-teori dan meningkat ke penerapan
teori. Di
bidang sain dan teknik dijumpai upaya mencoba pembelajaran dan topik baru yang
menyajikan kerangka pengetahuan, menyajikan teori-teori dan rumus dengan
sedikit memperhatikan pengetahuan utama mahasiswa, dan kurang atau tidak
mengkaitkan dengan pengalaman mereka. Pembelajaran dengan pendekatan deduktif
menekankan pada guru mentransfer informasi atau pengetahuan.
Bransford (dalam Prince dan Felder, 2006) melakukan
penelitian dibidang psikologi dan neurologi. Temuannya adalah: ”All new
learning involves transfer of information based on previous learning”,
artinya semua pembelajaran baru melibatkan transfer informasi berbasis
pembelajaran sebelumnya.
Major (2006) menyatakan dalam pembelajaran dengan
pendekatan deduktif dimulai dengan menyajikan generalisasi atau konsep.
Dikembangkan melalui kekuatan argumen logika. Contoh urutan pembelajaran: (1)
definisi disampaikan; dan (2) memberi contoh, dan beberapa tugas mirip contoh
dikerjakan siswa dengan maksud untuk menguji pemahaman siswa tentang definisi
yang disampaikan.
Langkah-langkah
yang dapat ditempuh dalam model pembelajaran dengan pendekatan deduktif
dijelaskan sebagai berikut (1) guru memilih konsep, prinsip, aturan yang akan
disajikan, (2) guru menyajikan aturan, prinsip yang berifat umum, lengkap
dengan definisi dan contoh-contohnya, (3) guru menyajikan contoh-contoh khusus
agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus dengan aturan prinsip
umum yang didukung oleh media yang cocok, (4) guru menyajikan bukti-bukti untuk
menunjang atau menolak kesimpulan bahwa keadaan umum itu merupakan gambaran
dari keadaan khusus. Alternatif pendekatan pembelajaran lainnya selain dengan
pembelajaran pendekatan deduktif adalah dengan pendekatan induktif.
b. Pendekatan Induktif
Ciri utama
pendekatan induktif
dalam pengolahan informasi adalah menggunakan data untuk membangun konsep atau
untuk memperoleh pengertian. Data yang digunakan merupakan data
primer atau dapat pula berupa kasus-kasus nyata yang terjadi dilingkungan. Beberapa
contoh pembelajaran dengan pendekatan induktif misalnya pembelajaran inquiri
(penyelidikan), pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran berbasis proyek,
pembelajaran berbasis kasus, dan pembelajaran penemuan. Pembelajaran dengan
pendekatan induktif dimulai dengan melakukan pengamatan terhadap hal-hal
khusus dan menginterpretasikannya, menganalisis kasus, atau memberi masalah
konstekstual, siswa dibimbing memahami konsep, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur
berdasar pengamatan siswa sendiri.
Pendekatan
induktif dikembangkan oleh filosof Perancis Bacon yang menghendaki penarikan
kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang kongkrit sebanyak mungkin.
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam model
pembelajaran dengan pendekatan induktif yaitu: (1) guru memilih konsep,
prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif (2) guru
menyajikan contoh-contoh khusus, prinsip, atau aturan yang memungkinkan siswa
memperkirakan sifat umum yang terkandung dalam contoh, (3) guru menyajikan
bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau mengangkat perkiraan,
(4) menyimpulkan, memberi penegasan dari beberapa contoh kemudian disimpulkan
dari contoh tersebut serta tindak lanjut.
Major (2006)
berpendapat bahwa pembelajaran dengan pendekatan induktif efektif untuk
mengajarkan konsep atau generalisasi. Pembelajaran diawali
dengan memberikan contoh-contoh atau kasus khusus menuju konsep atau
generalisasi. Siswa melakukan sejumlah pengamatan yang kemudian membangun dalam
suatu konsep atau geralisasi. Siswa tidak harus memiliki pengetahuan utama
berupa abstraksi, tetapi sampai pada abstraksi tersebut setelah mengamati dan
menganalisis apa yang diamati.
Dalam fase pendekatan induktif-deduktif ini siswa
diminta memecahkan soal atau masalah. Kemp (1994: 90) menyatakan ada dua
kategori yang dapat dipakai dalam membahas materi pembelajaran yaitu metode
induktif dan deduktif. Pada prinsipnya matematika bersifat deduktif. Matematika
sebagai “ilmu” hanya diterima pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif secara
sederhana dapat dikatakan pemikiran “yang berpangkal dari hal yang bersifat
umum diterapkan atau diarahkan kepada hal yang bersifat khusus” Soedjadi (2000:
16). Dalam kegiatan memecahkan masalah siswa dapat terlibat berpikir dengan
dengan menggunakan pola pikir induktif, pola pikir deduktif, atau keduanya
digunakan secara bergantian.
4.
Pendekatan Konsep dan Proses
a. Pendekatan
Konsep
Pendekatan konsep adalah suatu pendekatan di mana
siswa dibimbing memahami suatu bahasan dengan memahami konsep-konsep yang
terkandung didalamnya. (Amiruddin, 2009). Dalam proses pembelajaran tersebut
penguasaan konsep dan subkonsep yang menjadi sasaran utama pembelajaran.
Pendekatan ini kurang memperhatikan aspek student centre. Guru terlalu
dominan dalam membimbing siswa untuk memahami konsep. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konsep
berarti siswa lebih banyak dibimbing untuk memahami suatu bahasan melalui
pemahaman konsep yang terkandung di dalamnya.
b. Pendekatan
Proses
Pada pendekatan proses, tujuan utama pembelajaran
adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam keterampilan proses seperti
mengamati, berhipotesa, merencanakan, menafsirkan, dan mengkomunikasikan.
Pendekatan keterampilan proses digunakan dan dikembangkan sejak kurikulum 1984.
Penggunaan pendekatan proses menuntut keterlibatan langsung siswa dalam
kegiatan belajar.
Dalam pendekatan proses, ada dua hal mendasar yang
harus selalu dipegang pada setiap proses yang berlangsung dalam pendidikan. Pertama,
proses mengalami. Pendidikan harus sungguh menjadi suatu pengalaman pribadi
bagi peserta didik. Dengan proses mengalami, maka pendidikan akan menjadi
bagian integral dari diri peserta didik; bukan lagi potongan-potongan
pengalaman yang disodorkan untuk diterima, yang sebenarnya bukan miliknya
sendiri. Dengan demikian, pendidikan mengejawantah dalam diri peserta didik
dalam setiap proses pendidikan yang dialaminya.
5.
Pendekatan Sains, Tekhnologi dan Masyarakat
National
Science Teachers Association (NSTA) (1990 :1) memandang
STM sebagai the teaching and learning of science in the context of human experience.
STM dipandang sebagai proses pembelajaran yang senantiasa sesuai dengan
konteks pengalaman manusia. Dalam pendekatan ini siswa diajak untuk
meningkatakan kreativitas, sikap ilmiah, menggunakan konsep dan proses sains
dalam kehidupan sehari-hari. Definisi lain tentang STM dikemukakan oleh PENN
STATE (2006:1) bahwa STM merupakan an interdisciplinary approach which reflects
the widespread realization that in order to meet the increasing demands of a
technical society, education must integrate across disciplines. (Gambaran
sebuah Pendekatan antar disiplin ilmu yang tersebar luas dalam rangka memenuhi
meningkatnya permintaan dari masyarakat teknis, pendidikan harus menggabungkan
antar disiplin ilmu). Dengan demikian, pembelajaran dengan pendekatan
STM haruslah diselenggarakan dengan cara
mengintegrasikan berbagai disiplin (ilmu) dalam rangka memahami berbagai
hubungan yang terjadi di antara sains, teknologi dan masyarakat. Hal ini
berarti bahwa pemahaman kita terhadap hubungan antara sistem politik, tradisi
masyarakat dan bagaimana pengaruh sains dan teknologi terhadap
hubungan-hubungan tersebut menjadi bagian yang penting dalam pengembangan
pembelajaran di era sekarang ini.
Pandangan
tersebut senada dengan pendapat NC State University (2006: 1), bahwa STM
merupakan an interdisciplinery field of study that seeks to explore a
understand the many ways that scinence and technology shape culture, values,
and institution, and how such factors shape science and technology. STM
dengan demikian adalah sebuah pendekatan yang dimaksudkan untuk mengetahui
bagaimana sains dan teknologi masuk dan merubah proses-proses sosial di
masyarakat, dan bagaimana situasi sosial mempengaruhi perkembangan sains
dan teknologi.
Hasil
penelitian dari National Science Teacher Association ( NSTA ) ( dalam
Poedjiadi, 2000 ) menunjukan bahwa pembelajaran sains dengan menggunakan
pendekatan STM mempunyai beberapa perbedaan jika dibandingkan dengan cara biasa. Perbedaan tersebut ada pada aspek: kaitan
dan aplikasi bahan pelajaran, kreativitas, sikap, proses, dan konsep
pengetahuan. Melalui pendekatan STM ini guru dianggap sebagai fasilitator dan
informasi yang diterima siswa akan lebih lama diingat. Sebenarnya dalam
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan STM ini tercakup juga adanya pemecahan
masalah, tetapi masalah itu lebih ditekankan pada masalah yang ditemukan sehari
– hari.
IMPLIKASI
PENDEKATAN
ANDRAGOGIS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
INGGRIS SEBAGAI BAHASA ASING
A.
Pendahuluan
Out put atau hasil belajar yang kurang optimal
adalah permasalahan yang sangat sering muncul dari sebuah pelaksanaan proses
pembelajaran. Ketidakmampuan siswa untuk memahami dan menguasai berbagai
kompetensi dalam bentuk pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diharapkan
muncul dari sebuah proses pembelajaran merupakan indikasi ketidakberhasilan
proses pembelajaran itu. Salah satu penyebab ketidakberhasilan sebuah proses
pembelajaran itu adalah metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru di kelas
tidak banyak merangsang dan mendorong siswa untuk mampu secara aktif terlibat
dalam proses pembelajaran. Para guru lebih banyak menempatkan dirinya sebagai
orang yang “paling tahu” segalanya dan menempatkan siswa sebagai
individu-individu yang “tidak banyak tahu” tentang suatu hal. Dengan demikian
peran guru hanya semata-mata sebagai transmitter pengetahuan dan siswa sebagai
penerima pengetahuan tanpa ada keleluasaan untuk memilih dan menentukan tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai dari sebuah proses pembelajaran.
Ada kontras yang sangat mencolok antara pendekatan
proses pembelajaran yang terjadi di negara-negara barat (Amerika, Australia,
Belanda, dll) dengan pendekatan proses pembelajaran yang terjadi di Indonesia. Proses
pembelajaran di negara-negara barat lebih banyak menerapkan pendekatan
pembelajaran demokratis kolaboratif dengan banyak menempatkan siswa dan guru
pada posisi setara. Siswa dan guru secara bersama-sama menentukan
tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Kondisi pembelajaran
semacam ini menekankan segi humanistik, karena guru bukan merupakan
satu-satunya penentu segala aktivitas pembelajaran. Selanjutnya peran
guru lebih banyak sebagai fasilitator. Sebaliknya proses
pembelajaran di Indonesia
tampak sangat mekanistik dan tidak mengarahkan siswa untuk berpikir pada
tataran tingkat tinggi, karena guru lebih banyak berperan sebagai transmitter
pengetahuan dan siswa semata-mata menerima pengetahuan dari guru. Peran
guru yang hanya sebagai transmitter pengetahuan ini pada akhirnya kurang
mendorong siswa untuk kreatif dan tidak banyak terlibat baik secara fisik
maupun mental dalam proses pembelajaran.
Permasalahan
di atas banyak pula terjadi dalam proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai
bahasa asing (Teaching English as Foregin Language; TEFL) di Indonesia. Pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia, baik
pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah, lebih menekankan pada aspek
pengetahuan bahasa, pemahaman isi wacana, juga lebih banyak hanya berorientasi
pada hasil ujian yang ingin dicapai (ujian semester, ujian nasional, dsb),
tetapi justru lebih banyak mengabaikan penguasaan aspek keterampilan
komunikasi baik lisan maupun tulisan dalam bahasa Inggris. Pendekatan
pembelajaran bahasa Inggris di kelas sangat berpusat pada guru (teacher-centered
classroom). Hal ini berbeda dengan negara-negara barat yang
menerapkan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua (English as Second
Language; ESL), seperti Perancis, Jerman, Italia dan sebagainya.
Pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang mereka terapkan banyak menekankan
pada kemampuan berfikir kritis, penggunaan bahasa yang realistis, pembelajaran
bahasa yang berpusat pada siswa (student-centered classroom) dan
menekankan pula pada kualitas proses pembelajaran (Wang:2006). Secara lebih
spesifik, pembelajaran bahasa Inggris di dunia barat tidak banyak menekankan
pada aspek hafalan dan transfer pengetahuan bahasa seperti yang terjadi di Indonesia. Para guru di negara-negara barat lebih banyak percaya
bahwa pendekatan yang mereka gunakan itu akan menkondisikan siswa untuk
berfikir kritis yang memungkinkan untuk menciptakan banyak pengetahuan baru
bagi siswa.
Dikotomi
(pembagian dalam dua bagian) pendekatan pemebelajaran bahasa
Inggris di atas merupakan sesuatu yang menarik untuk dicermati. Dalam konteks
psikologi, pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered learning)
diidentifikasi sebagai proses pembelajaran yang menerapkan prinsip-prinsip
pendagogy, sedangkan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered
learning) merupakan pendekatan pembelajaran yang menerapkan prinsip-prinsip
andragogy. Selanjutnya dalam makalah ini akan membahas implementasi
prinsip-prinsip andragogy dalam pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa
asing di Indonesia.
Sebagaimana banyak diketahui bahwa guru-guru bahasa Inggris di Indonesia
dalam mengajarkan bahasa Inggris kepada siswa lebih banyak berorientasi pada
hasil ujian formal (ujian semester, ujian nasional, dsb) dan kurang banyak
memperhatikan penguasaan kompetensi berbahasa siswa. Paradigma pembelajaran ini
terkesan kaku dan tidak banyak mengeksplorasi potensi siswa dalam belajar
bahasa Inggris. Oleh karena itu, paradigma pembelajaran yang demikian harus
segera dirubah ke paradigma pembelajaran yang berorientasi pada pembelajaran
kolaboratif.
B. Filosofi Andragogy
vs Pedagogy dalam Pembelajaran
Bahasa Inggris
Seperti
telah sedikit disinggung di depan bahwa ada perbedaan pendekatan pembelajaran
bahasa Inggris yang terjadi di Indonesia
dan termasuk juga di Cina dengan yang terjadi di negara-negara barat.
Pendekatan pembelajaran bahasa Inggris yang terjadi di negara-negara barat
cenderung membedakan antara pembelajaran untuk orang dewasa dengan pembelajaran
untuk anak-anak; sedangkan pendekatan pembelajaran di negara-negara timur (Indonesia,
Cina, dll.) menganggap tidak ada perbedaan yang mencolok diantara dua kelompok
pembelajar tersebut dalam proses pembelajaran. Pendidikan untuk anak
didefinisikan sebagai pedagogy karena sebenarnya pedagogy merupakan seni dan
ilmu untuk mengajar anak-anak. Di
dalam pedagogy, guru banyak berperan untuk mengontrol dan memutuskan apa saja
yang akan dipelajari dalam sebuah proses pembelajaran, bagaimana suatu materi
pelajaran itu harus dipelajari (menentukan metode belajar), dan kapan harus
dilakukan proses pengukuran (assessment) hasil belajar. Siswa semata-mata
tunduk dan mengikuti apa yang diajarkan oleh gurunya. Sebaliknya Knowles
(1998) menyatakan bahwa andragogy didefinisikan sebagai suatu pendekatan
pembelajaran untuk orang dewasa. Lebih lanjut andragogy dikarakteristikkan
sebagai proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered
learning), karena pembelajar, menurut pendekatan ini, dipercaya sebagai
individu yang termotivasi untuk belajar secara internal (self-directed leaners).
Ketika pembelajar termotivasi secara internal untuk belajar, maka guru harus
memposisikan dirinya sebagai fasilitator dari sebuah proses pembelajaran.
Karena posisinya sebagai fasilitator pembelajaran, maka guru tidak perlu
mengontrol segala aktivitas pembelajaran yang sedang berlangsung. Malahan,
fasilitator pembelajaran perlu menegosiasikan prioritas kurikuler apa yang
perlu dicapai dari sebuah proses pembelajaran dengan para siswanya. Seorang
fasilitator bisa saja memberikan kontrak pembelajaran kepada siswa. Seorang
fasilitator perlu memposisikan dirinya sebagai pembantu belajar siswa (co-leaner)
dan menganggap dirinya sebagai teman sejawat (peer) para siswanya.
Pendekatan
pembelajaran andragogis memandang pendidikan sebagai suatu kesataraan. Artinya
guru dan siswa dalam suatu proses pembelajaran berada pada posisi yang setara. Hal mendasar yang perlu dipahami
adalah pendekatan andragogis memandang seluruh siswa mempunyai potensi untuk
termotivasi dan terdorong secara internal (self-motivated and self-directed)
untuk belajar guna memuaskan minat dan pengalamannya; memandang siswa mampu
berfikir rasional dan besikap empatik dalam proses pembelajaran; memandang
seluruh siswa mampu berpartisipasi dalam wacana kerja kolaboratif; memandang
siswa mempunyai kemampuan berlatih secara mandiri; dan juga memandang siswa
mampu bertindak secara reflektif (Mezirow, 2000; King and Wright, 2003;
Merriam, 2004 di dalam Wang, 2006).
Secara
filosofis aplikasi pendekatan pedagogis dan andragogis mempuyai
konsep yang berbeda dalam sebuah proses pembelajaran bahasa Inggris. Di satu sisi, pendekatan pedagogis lebih menekankan
pada upaya mentransmisikan sejumlah pengetahuan dan keterampilan berbahasa
Inggris dalam rangka mempersiapkan siswa untuk menghadapi kehidupan di masa
yang akan datang. Sebaliknya pendekatan andragogis lebih
menekankan pada membimbing dan membantu siswa untuk menemukan pengalaman,
pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam berbahasa Inggris dalam rangka
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Secara lebih konkrit,
pendekatan andragogis memposisikan kegiatan pembelajaran bahasa Inggris harus:
1) Berpusat pada masalah;
2) Menuntut dan mendorong siswa
untuk aktif dalam berbahasa Inggris secara realistis;
3) Mendorong siswa untuk
mengemukakan pengalamannya sehari-hari dalam bahasa Inggris;
4) Menumbuhkan kerja sama, baik
antara sesama siswa dan antara siswa dengan gurunya dalam mencari solusi
permasalahan komunikasi berbahasa Inggris; dan
5) Lebih bersifat memberikan
pengalaman berkomunikasi bahasa Inggris, bukan merupakan transformasi atau
penyerapan materi bahasa Inggris semata.
C. Aplikasi Pendekatan Andragogis
dalam Pembelajaran Bahasa Inggris
Pembelajaran
bahasa Inggris bukanlah semata-mata mengajarkan kepada siswa unsur-unsur
pengetahuan bahasa, seperti tata bahasa (grammar), pelafalan (pronunciation),
pilihan kata (diction), intonasi (intonation) dan daftar kosa kata
(vocabulary), dan bukan pula pembelajaran yang hanya berorientasi pada hasil
ujian (ujian semester, ujian nasional, dsb). Pembelajaran bahasa Inggris
mestinya harus menekankan pada penguasaan kompetensi berbahasa oleh siswa dalam
bentuk empat keterampilan berbahasa, yaitu membaca (reading), menyimak
(listening), menulis (writing) dan berbicara (speaking). Dengan kata lain,
kemampuan komunikatif harus menjadi fokus dalam pembelajaran bahasa Inggris.
Ketika kemampuan komunikatif menjadi fokus dalam pembelajaran bahasa Inggris,
maka pembelajaran tidak lagi semata-mata mentransfer pengetahuan bahasa secara
parsial berupa unsur-unsur bahasa, seperti grammar, kosa kata dan sebagainya,
tetapi pembelajaran bahasa Inggris harus mampu memberikan pengalaman bagi siswa
untuk mampu menggunakan bahasa Inggris itu sebagai alat komunikasi nyata.
Pembelajaran
bahasa Inggris yang menekankan pada kemampuan komunikatif ini tampaknya dapat
dilakukan melalui pendekatan andragogis, karena pendekatan ini mensyaratkan
adanya proses kolaboratif dalam proses pembelajaran guna menciptakan pengalaman
berkomunikasi nyata. Hal ini sejalan dengan pendapat banyak pakar yang
menyatakan bahwa guru-guru bahasa Inggris seharusnya mengikuti proses
pembelajaran kolaboratif dalam menciptakan konteks komunikasi nyata, sehingga
hasil proses pembelajaran bahasa itu menjadi optimal. Pendekatan andragogis
dipercaya mampu menguatkan gerakan komunikatif dan proses pembelajaran
kolaboratif. Sebagai contoh, pada saat pembelajaran reading comprehension.
Ketika siswa diminta untuk memahami makna yang tersirat (reading between the
lines) dari suatu teks, sering sekali siswa mengalami kesulitan. Pada saat
siswa mendapatkan kesulitan dalam menemukan makna tersirat itu, guru tidak perlu
menunjukkan makna atau informasi tersirat itu secara langsung kepada para
siswa. Biarkan para siswa melalui keingintahuannya itu bekerja sama dengan
kelompoknya untuk menemukan informasi yang diinginkan. Guru yang berperan
sebagai fasilitator cukup memberikan petunjuk (clue), sehingga siswa mampu
menemukan sendiri informasi yang tersirat dari teks atau wacana yang dihadapi.
Konsep ini merupakan pendekatan pembelajaran bahasa Inggris berbasis andragogis
yang berangkat dari permasalahan berkomunikasi dan kemudian dipecahkan secara
kolaboratif.
Contoh
lain yang menarik dalam pembelajaran bahasa Inggris berbasis andragogis adalah
pada saat guru mengajarkan kemampuan menulis (writing skill). Pada saat guru
meminta siswa untuk menulis sebuah jenis teks tertentu dalam bahasa Inggris,
guru tidak perlu menentukan batasan tema yang harus ditulis oleh siswa. Perlu
dipahami bahwa pembelajaran bahasa Inggris menurut kurikulum yang berlaku saat
ini harus selalu berangkat dari jenis teks (genre), misalnya jenis teks recount,
narrative, discussion, procedure, analitical exposition, exploratory
exposition, dsb, maka guru cukup memberikan batasan pada jenis teks apa yang
harus ditulis oleh siswa. Sedangkan tema apa yang harus ditulis oleh siswa
diserahkan sepenuhnya kepada siswa itu sendiri. Kemudian berdasarkan minat dan
pengalaman yang dimilikinya, siswa memilih salah satu tema yang akan
dikembangkan dalam tulisannya. Misalnya guru menginginkan siswa mampu menulis
jenis teks procedure yang berbicara mengenai langkah-langkah atau skuensi dalam
melakukan suatu aktivitas tertentu, maka siswa berdasarkan pengalaman dan
minatnya bisa memilih tema bagaimana posedur memasak nasi goreng, prosedur
mengoperasikan komputer, prosedur merakit alat bermainnya, prosedur membuat
alamat email di internet dan sebagainya. Siswa tidak akan mampu menulis dengan
baik berbagai prosedur itu apabila tidak didasari pengalaman dan minatnya yang
mendalam mengenai hal-hal tersebut. Proses pembelajaran menulis bahasa Inggris
seperti ini akan lebih berhasil dibandingkan apabila guru harus memaksa dan
menentukan tema tertentu yang harus ditulis oleh siswa, sedangkan siswa tidak
mempunyai banyak pengalaman dan minat tentang tema yang harus ditulis itu.
Pendekatan pembelajaran menulis seperti di atas sesuai dengan prinsip-prinsip
andragogis yang menempatkan pengalaman dan minat siswa sebagai sumber belajar
yang bermakna.
Relevansi
pendekatan andragogis dalam pembelajaran bahasa Inggris juga bisa diterapkan
dalam mengajarkan kemampuan berbicara (speaking skill). Ketika guru mengajarkan
kepada siswa kemampuan berkomunikasi lisan dalam bahasa Inggris, guru tidak
perlu menentukan batasan-batasan mengenai apa yang harus dibicarakan, kosa kata
apa yang digunakan oleh siswa dalam berkomunikasi lisan, dan jenis grammar apa
yang harus muncul dalam komunikasi lisan itu. Batasan-batasan yang ditentukan
itu telah merefleksikan bahwa guru banyak mengontrol proses berfikir dan
berkomunikasi siswa dan hal ini tidak sejalan dengan prinsip-prinsip andragogis
yang menuntut siswa untuk berfikir kreatif. Siswa harus diberi keleluasaan
untuk memformulasikan pengalaman masa lalunya dan menghubungkannya dengan
pengalaman barunya dan kemudian diminta untuk mengkomunikasikan dalam bahasa
lisan. Keterbatasan siswa dalam menguasai kosa kata dan lafal (pronunciation)
kata jangan dianggap sebagai kendala komunikasi. Guru
sebagai fasilitator harus
menjembatani keterbatasan kemampuan komunikasi lisan yang dimiliki siswa dengan
kemampuan yang sebenarnya harus dimiliki siswa dengan cara
memberikan motivasi untuk berkembang.
Dalam
membantu siswa untuk berkembang dalam komunikasi lisan itu, guru perlu
menciptakan iklim pembelajaran kesetaraan. Maksudnya guru harus memposisikan
dirinya sebagai teman belajar siswa yang senantiasa siap membantu siswa
menemukan solusi dari kendala komunikasi yang muncul. Kendala komunikasi lisan
yang dimiliki oleh siswa harus dieliminasi dengan cara-cara
yang “ramah”. Kesalahan komunikasi lisan yang dilakukan oleh siswa harus
dianggap sebagai proses alamiah dari sebuah proses pembelajaran bahasa Inggris.
D. Penciptaan Konteks
Pembelajaran Bahasa
Inggris Berbasis
Andragogy
Seperti
telah disinggung di bagian sebelumya bahwa filosofi pembelajaran berbasis
andragogy berakar dari pembelajaran yang didasari oleh pengalaman dan minat
yang dimiliki oleh peserta didik. Dengan pengalaman dan minat yang dimiliki
oleh peserta didik itu, pembelajaran akan lebih bermakna dalam membentuk
komptensi yang diharapkan dikuasai oleh peserta didik itu. Hal ini senada
dengan pendapat Hansman (2001) yang menyatakan bahwa belajar yang sebenarnya
adalah belajar melalui pengalaman. Tanpa dilandasi pengalaman dan minat yang
melatarbelakangi, proses pembelajaran akan sulit berkembang dan akhirnya hasil
dari proses pembelajaran itu juga akan kurang optimal. Permasalahan yang
kemudian muncul adalah bagaimana apabila peserta didik itu benar-benar tidak
mempunyai pengalaman yang melatarbelakangi apa yang hendak dipelajari?. Apakah
guru harus membiarkan begitu saja siswa yang tidak mempunyai latar belakang
pengalaman itu dan langsung meberikan bahan ajar yang harus dikuasai siswa?
Bagaimana guru seharusnya mengatasi permasalahan ini?
Prinsip
pembelajaran berbasis andragogy mensyaratkan bahwa guru tidak boleh begitu saja
mengabaikan aspek pengalaman yang harus dimiliki oleh siswa, karena pengalaman
merupakan sumber belajar yang sangat bermakna. Ketika sebagian atau keseluruhan
dari peserta didik itu tidak mempunyai latar belakang pengalaman yang menunjang
proses pembelajaran, guru harus terlebih dahulu memberikan pengalaman imitatif
melalui penciptaan konteks. Gagasan mengenai konteks yang dijadikan sentral
dari sebuah proses pembelajaran menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk
didiskusikan. Wilson
(1993) menyatakan bahwa pembelajaran yang terjadi dalam suatu konteks tertentu
akan mengarahkan siswa menjadi lebih “tertantang” untuk aktif berinteraksi
dengan siswa lain dalam suasana belajar lebih menyenangkan.
LeGrand
Brandt, Farmer, dan Buckmaster dalam Hansman (2001) menyatakan bahwa upaya guru
dalam menciptakan konteks untuk membentuk pengalaman siswa dapat dilakukan
diantaranya melalui pemodelan (modeling), karena pemodelan ini mampu
mengarahkan siswa untuk mengamati performa dari suatu kegiatan yang dilakukan
oleh orang yang mempunyai pengalaman nyata. Kegiatan pemodelan oleh orang yang
berpengalaman ini akan memberikan topangan (scaffolding) bagi siswa untuk
berkreasi dalam belajar.
Penciptaan
konteks dapat pula dilakukan oleh guru melalui berbagai alat bantu
pembelajaran, misalnya komputer, peta, gambar-gambar, gelas ukur dan
sebagainya. Kaitannya dengan pembelajaran bahasa Inggris, ketika guru ingin
mengajarkan kemampuan berbicara (speaking skill), guru bisa meminta siswa untuk
bermain peran yang anggotanya terdiri dari beberapa siswa. Sebagai ilustrasi,
misalnya sesuatu yang ingin diperankan siswa adalah suasana kesibukan di
bandara bagi para penumpang yang ingin melakukan perjalanan jauh. Sedangkan
beberapa di antara siswa belum pernah sama sekali naik pesawat. Ini berarti
bahwa siswa itu tidak mempunyai pengetahuan sama sekali bagaimana kesibukan
penumpang yang terjadi di bandara. Dengan demikian ada kesenjangan (gap)
pengalaman yang dialami oleh sesama siswa. Permasalahan ini bisa diatasi oleh
guru dengan memberikan pengalaman melalui penciptaan konteks. Guru perlu
menyusun setting ruang belajar itu menjadi bagian-bagian mirip seperti yang ada
di bandara, mulai dari ticketting counter, security checking, waiting room dan
sebagainya, kemudian guru perlu menjelaskan fungsi dari masing-masing bagian dalam
bandara tersebut. Dengan demikian siswa akan terbangun pengalamannya dan
akhirnya siswa mampu melakukan dialog berbahasa Inggris dalam konteks kesibukan
penumpang di bandara.
Pada
dasarnya kemampuan berbicara (speaking skill) dan kemampuan menulis (writing
skill) dalam pembelajaran bahasa Inggris dikategorikan sebagai kemampuan
poduktif (productive skill). Maksudnya adalah siswa diminta memproduksi dan
menuangkan gagasan, pikiran dan perasaannya dalam ungkapan yang bermakna dengan
bahasanya sendiri. Kemampuan produktif ini tidak akan berjalan dengan baik
apabila tidak didukung pengalaman memadai yang dimiliki oleh siswa. Dalam hal
ini peran guru menjadi sangat penting dalam upaya penciptaan konteks dalam
rangka membentuk pengalaman imitatif siswa agar mampu menghasilkan berbagai
ungkapan komunikatif yang bermakna.
Sebagai
upaya dalam menciptakan konteks dalam pembelajaran bahasa Inggris berbasis
andragogi, ada beberapa aktivitas pembelajaran bahasa Inggris yang bisa
dilakukan, yaitu:
1. Bermain Peran
(Role-Plays)
Role-plays
merupakan proses pembelajaran kolaboratif dan merupakan metode yang sangat baik
dalam upaya menciptakan konteks komunikasi. Tetapi, banyak siswa yang sering
mengalami hambatan ketika diminta bermain peran (yaitu, memerankan orang lain)
untuk menciptakan konteks berkomunikasi yang realistis. Alasannya adalah
aktivitas ini memerlukan acting dan improvisasi yang oleh beberapa siswa
dianggap memerlukan bakat khusus. Kondisi ini perlu dipahami oleh guru, tetapi
tidak selanjutnya harus meniadakan kegiatan ini. Dalam konteks pembelajaran
bahasa, bermain peran hanya dimaksudkan untuk menciptakan pengalaman siswa
untuk berkomunikasi dalam “dunia nyata”, bukan mementingkan aspek “pertunjukan”
dari peran siswa itu.
Permasalahan
tersebut bisa diatasi dengan memberikan penjelasan singkat mengenai peran
masing-masing siswa dalam role-plays itu dan perlu dijelaskan pula bahwa yang
dipentingkan dalam bermain peran itu adalah keberanian siswa dalam memproduksi
ungkapan-ungkapan komunikatif . Proses pembelajaran bahasa Inggris sebagai
bahasa asing tidak akan banyak berhasil apabila proses pembelajaran itu tidak
dikaitkan dengan konteks yang mampu merangsang siswa untuk mampu memproduksi
ungkapan-ungkapan yang bermakna. Seperti Byrne
(1976) yang mengatakan bahwa: “Di
dalam role-plays, guru tidak perlu banyak memperhatikan aspek penampilan siswa
dalam kegiatan itu, tetapi yang penting adalah guru bisa menciptkan konteks
situasi yang bermakna yang mampu memberikan pengalaman bagi siswa untuk
berkomunikasi dalam konteks yang realistis
2. Pelatihan (drilling)
Komunikasi
Sering
sekali ditemui bahwa ketika guru bahasa Inggris mengajarkan grammar kepada
para siswa, mereka sering meminta siswa menghafal berbagai istilah, misalnya
berbagai tenses, concord, subjunctive, dangling, conditional sentence dan
sebagainya, yang justru menambah kesulitan siswa dalam belajar bahasa Inggris
sebagai bahasa asing. Proses pembelajaran ini tampaknya sangat mekanistik dan
lebih mementingkan aspek kognitif daripada psikomotorik. Pembelajaran
grammar dapat pula dilakukan dengan memberikan konteks yang mampu mendorong
siswa untuk berfikir kritis dalam berkomunikasi dengan menggunakan grammar yang
diharapkan dikuasai oleh siswa.
Dalam
memecahkan permasalahan belajar yang berkaitan dengan penggunaan grammar
tertentu, siswa perlu banyak diberi latihan untuk mengaplikasikan grammar itu
dalam komunikasi yang realitis tidak sekedar mengetahui aspek-aspek grammar itu
saja. Konteks yang bisa digunakan untuk merangsang minat dan pengalaman siswa itu
di antaranya dapat dilakukan dengan mendesign aktivitas kolaboratif seperti
menjawab pertanyaan yang bersifat open-ended, mendeskripsikan gambar atau
kartun dan sebagainya. Kegiatan lain yang bisa dilakukan adalah latihan
menerjemahkan beberapa kalimat atau teks yang mengandung struktur kalimat yang
perlu dikuasai siswa. Kegiatan-kegiatan ini tentu saja menghendaki daya pikir
kritis siswa yang merupakan karakteristik dari pengajaran berbasis andragogi.
3. Penugasan
Untuk
merangsang siswa mampu mengaplikasikan bahasa Inggris dalam komunikasi yang
lebih realistis, siswa perlu ditugasi untuk mengaplikasikan kemampuannya dalam
berbahasa Inggris dalam situasi nyata. Misalnya, siswa diminta datang ke
berbagai tempat wisata dan bertemu dengan beberapa turis asing yang berbahasa
Inggris untuk diwawancarai. Hasil wawancara itu harus direkam dan pada
kesempatan lain harus dilaporkan kepada guru. Kegiatan ini selain melatih
tingkat kepercayaan siswa akan kemampuan bahasa Inggrisnya, juga mampu
memberikan pengalaman bagi siswa itu untuk beromunikasi bahasa Inggris dalam
konteks yang sangat realistis.
Tugas
lain bisa pula dalam bentuk browsing internet untuk mencari informasi tertentu
yang berkaitan dengan tema yang dibicarakan di kelas. Kerja ini perlu dilakukan
secara kelompok, sehingga setiap anggota bisa saling berdiskusi untuk
menyamakan persepsi mereka berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Pada
tahap selanjutnya siswa harus melaporkan hasil browsing atau pencarian itu di
muka kelas yang tentu saja dalam bahasa Inggris. Kegiatan ini diharapkan mampu
memberikan wacana pengalaman bagi siswa tentang sesuatu masalah yang belum
diketahui sebelumnya. Dengan demikian, siswa dapat dengan mudah mndapatkan
materi yang bisa dilaporkan di muka kelas.
E. Penutup
Model
pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang terkesan mekanistis dengan menempatkan guru sebagai
orang yang paling banyak tahu dan menempatkan siswa sebagai kelompok individu
penerima pengetahuan dari guru dipercayai kurang banyak berhasil. Ketidakberhasilan
itu ditandai dengan ketidakmampuan siswa untuk berfikir kritis dalam
menciptakan suasana komunikasi bahasa Inggris yang bermakna. Bahkan proses
pembelajaran seperti itu tidak mampu mendorong siswa untuk aktif berpartisipasi
dalam proses pembelajaran. Kemampuan guru dalam mendesign proses
pembelajaran yang menarik, inovatif dan menantang merupakan kunci keberhasilan
dari proses pembelajaran itu.
Pendekatan
andragogis merupakan suatu pendekatan yang perlu dicoba dan diimplementasikan
dalam proses pembelajaran bahasa Inggris. Pendekatan ini mensyaratkan guru dan
siswa secara bersama-sama menentukan aktivitas pembelajaran yang bermakna,
sehingga mampu mendorong siswa untuk aktif berpartisipasi dalam proses
pembelajaran. Pada dasarnya keterlibatan siswa secara aktif dalam kegiatan
pembelajaran merupakan kunci keberhasilan dalam pembelajaran bahasa Inggris.
Semakin aktif keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran bahasa Inggris, maka
akan semakin berhasil suatu proses pembelajaran itu. Pendekatan andragogis,
walaupun mungkin baru sekedar impian, merupakan sebuah solusi untuk
meningkatkan efektivitas keberhasilan proses pembelajaran bahasa Inggris itu.
Daftar
Referensi
Abdul
Rahim Rashid.
(1998). Ilmu
Sejarah: Teori dan amalan dalam
pengajaran dan pembelajaran Sejarah. Kertas kerja yang dibentangkan dalam Simposium
Sejarah, Universiti Malaya, Kuala
Lumpur, 30–31 Oktober.
Anwar.
(2004). Pendidikan
Kecakapan Hidup
(Life Skill Education). Bandung:
Penerbit Alfabeta.
Ausubel,
D. P. (1963). The psychology of meaningful verbal learning. New York: A Grune &
Stratton Inc.
Bybee,
R. W. (1993). Leadership, responsibility and
reform in science education. B Science Educator, 2,1–9.
Depdiknas.
(2002). Pengembangan
Pelaksanaan Broad-Based
Education, High-
Based
Education, dan Life Skills di SMU. Jakarta:
Depdiknas.
Firdaus
M Yunus.
(2004). Pendidikan
Berbasis Realitas
Sosial, Paulo freire-Y.B
Mangunwijaya.
Yogyakarta:
Logung Pustaka (http.//www.contextual.org.id)
(ilmiahhttp://smacepiring.wordpress.com/2008/02/19/pendekatan-dan-metode-pembelajaran/).
IOWA
State University.
(2003). Incorporating Developmentally Appropriate
Learning
Opportunities to Assess Impact of Life Skill Development.
Lifeskills4kids.
(2000). Introduction & F.A.Q.
Ngalim
Purwanto.
2002. Psikologi
Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda
Karya
Lee,
Kwuang-wu. 2000. English Teachers’ Barriers to the Use of Computer
assisted
Language Learning. The Internet TESL Journal, Vol. VI,
No. 12,
December
2000. http:/www..aitech.ac.jp/~iteslj/
(Frequently
Asked Questions). kdavis@LifeSkills4Kids.com
Suhandoyo
(1993). Upaya
Meningkatkan Kualitas
Sumber Daya
Manusia Melalui
Interaksi
Positif
dengan Lingkungan. Yogyakarta:
PPM IKIP Yogyakarta.
Supriyadi.
(1999). Buku
Pegangan Perkuliahan
Teknologi Pengajaran
Fisika.
Yogyakarta:
Jurdik Fisika FMIPA
UNY
Suyoso.
(2001). Ilmu
Alamiah Dasar.
Yogyakarta:
Trowbidge
dan Byebee. (1986). Becoming a Secondary school science Teacher. London: Merill Publishing
Company.
Utah
State
Board of Education. (2001). Life Skills. www.caseylifeskills.org
Barnes,
Douglas.
1975. From Communication to Curriculum. Harmonsworth Middlesex:
Penguin Publisher
Hansman,
Chaterine A. 2001. Context-Based Adult Learning in S. Meriam (ed),
An Update on Adult Learning Theory. New Directions for Adult and Continuing
Education, no. 57. San Fransisco: Jossey-Bass.
Knowles,
Malcolm.
1978. The Adult Leaner: A Neglected Species (2nd Ed).
Houston:
Gulf PublishingCompany.
Knowles,
M.S., Holton, E., & Swanson, A. 1998. The adult
Learner. Houston.
TX: Gulf Publishing Company
Salovey,
Peter et al. 2004. Emotional Intellegence. New York: Dude Publishing
Sarjilah.
2006. Makna Pengembangan Manusia
pada Pelatihan Guru. LPMP D.I. Yogyakarta
Wang,
Victor C.X.
200. Implementing Andragogy in Teaching English as a Foreign Language (TEFL) in
China:
A Dream yet to be Realized. Long Beach,
USA: California State University
Wilson,
A.L. 1993. The Promise of Situated
Cognition in S.
Meriam (ed),
An Update on Adult Learning Theory. New Directions for Adult and Continuing
Education, no. 57. San Fransisco: Jossey-Bass.
*)
Sumardi, M.Hum Guru Bahasa Inggris SMA Negeri 1 Sragen dan mahasiswa program
doktor Universitas Negeri Yogyakarta